Syeikh Shihabbuddin dilahirkan di Mesir pada masa kekuasaan
Raja Al-Malik al-Dhohir Abi Sa'id. Ia terkenal dengan sebutan
"al-Ramli", nisbat kepada desa Rimal, sebuah distrik di Kuwaisina, Manufiah.
Ali Mubarak mengatakan bahwa Rimal merupakan kampung kecil, bagian dari Dimyat
yang dekat dengan Maniah al-Athor ke arah masjid al-Hadhor.
Perjalanan ke Hijaz
Ketika berumur 16 tahun beliau pergi ke Hijaz dalam bagian
rombongan yang pergi ke Madinah atas perintah Sultan al-Asraf Qoitbay untuk
merenovasi bangunan Masjid Nabawi. Pada tahun 886 H terjadi petir besar yang
menyambar Masjid Nabawi, sehingga terbakar menara yang berada di atas
persemayaman Nabi. Atap masjidpun semuanya terbakar, begitu juga mimbar,
tembok, tiang dan pintu. Hampir tidak ada yang selamat selain Qubah
as-Syarifah. Tatkala Sultan Qoitbay mendengar kabar tersebut, menangislah
beliau dan menangis pula orang-orang yang ada di sekitar beliau.
Rombongan yang dipimpin oleh Syamsudin Muhammad bin Zaman
menyertakan beberapa tenaga bangunan, tukang kayu, tukang batu marmer dan
lain-lain. Dalam cerita ini, belum jelas apakah Syekh Syihabudin termasuk dalam
kelompok tenaga bangunan, tukang kayu atau yang lainnya. Menurut sebagian riwayat
beliau tidak termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, karena dalam biografinya
disebutkan bahwa beliau belajar di al-Azhar kemudian menghapalkan Al-quran,
hadist, dan fiqih empat madzhab.
Imam Sya'roni dalam Thabaqah-nya mengatakan : "Beliau
adalah Imam yang shalih, penutup ahli tahqiq di Mesir, Hijaz dan Syam.
Barangkali kepergiannya bersama utusan renovasi dan bangunan merupakan bentuk
kesusahan beliau tatkala mendengar Masjid Nabawi terbakar. Beliau yakin bahwa
ruangan al-Nabawiyah akan selamanya selamat tidak terkena malapetaka. Beliau
tetap tinggal di Hijaz, tidak pulang bersama utusan pembaharu masjid, untuk
menimba ilmu dan belajar fiqih pada ulama-ulama Hijaz.
Kembali ke Mesir
Setelah beberapa saat tinggal di Hijaz dan sebelum kembali
ke Mesir beliau pergi ke Syam dan menetap beberapa waktu untuk belajar pada
pemuka agama, ahli fatwa dan ulama-ulama yang memberi kontribusi dalam
pengetahuan beliau. Ketika kembali ke Kairo pada masa kekuasaan Sultan Qonshuh
al-Ghouri, ketenarannya telah menyebar ke semua penjuru khususnya ulama-ulama
fiqih madzhab Syafi'i. Hal ini merupakan sebab mengapa Sultan al-Ghouri
menugaskan beliau mengajar di Madrasah al-Nasiriyah di Qorofah.
Madrasah Nasiriyah terletak di dekat Qubah Imam Syafi'i.
Madrasah ini dibangun oleh Sultan Malik al-Nasir Sholahuddin al-Ayyubi dan
dikhususkan untuk belajar fiqih madzhab Imam syafi'i. Sultan Malik juga
menyediakan kepada para pengajar 40 dinar perbulan dan roti sebanyak 60 kantung
perhari. Beliau juga menetapkan pengajar bantu dan para pelajar. Sultan
Shalahuddin juga mewakafkan kamar mandi besar (Hammam) di sebelah madrasah,
toko roti dan toko-toko di luarnya. Al-Maqrizi berkata: "Pengajaran di
Madrasah al-Nasiriyah diurus oleh para pembesar, seperti Qadli al-Qudlat
Taqiyuddin Muhammad bin Rozin al-Hamawi, juga Ibnu Daqiq al-Id, begitu juga
Burhanudin al-Hadr al-Sanjari".
Keutamaan Syeikh Shihabuddin
Tentang biografi Syekh Shihabbuddin Imam Sya'roni bercerita
: "Syekh Shihabbuddin merupakan orang yang wara', zuhud, alim, bagus
keyakinannya, lebih-lebih di hadapan orang sufi. Beliau selalu menjawab
melayani dengan santun perkataan mereka. Syekh Romli adalah imam dalam ilmu
syara". Imam Sya'roni -sang sufi- merupakan murid yang paling beliau
cintai. Dalam hal ini Syekh Sya'roni sendiri berkata : "Syekh Shihabuddin
sangat mencintaiku sebagaimana kecintaan tuan pada sahayanya".
Tentang keutamaan Syekh Shihabbuddin dan keilmuannya Imam
Sya'roni lebih jauh berkata : "Hampir seluruh ulama madzhab Syafi'i di
Mesir adalah muridnya. Tidak ditemukan seorang alim bermadzhab Syafi'i kecuali
dia adalah murid Syekh Shihabbuddin atau cucu murid. Semua permasalahan dari
seluruh penjuru daerah dikembalikan pada beliau. Ketergantungan masyarakat pada
petuah beliau melebihi ketergantungan mereka terhadap para gurunya.
Tidak diragukan lagi Syekh Shihabbuddin mempunyai posisi
keilmuan yang tinggi pada masanya, yaitu tahun 8 H, sampai-sampai Syekh Zakaria
al-Anshori memberi izin beliau untuk memperbaiki karangan-karangannya, baik
semasa hidupnya atau sesudah mati. Ini adalah hal yang luar biasa sebab Syekh
Zakaria tidak pernah memberikan izin dalam masalah ini pada siapapun selain
beliau. Syekh Shihabbuddin turut memperbaiki beberapa tema atau masalah dalam
kitab Syarh al-Bahjah-nya Syekh Zakaria dan Syarh al-Roudl semasa hidupnya.
Beliau juga mengarang beberapa kitab yang berharga seperti kitab Syarh al-Zubad
dalam ilmu fiqih yang merupakan kitab besar, yang di dalamnya berisi
pentarjihan, perdebatan, dan penyeleksian beliau yang telah diteliti oleh Syekh
Nuruddin al- Tanuta'i, sebagaimana Syekh Syamsuddin al-Khotib mengumpulkan
fatwa-fatwanya sehingga menjadi kitab yang besar dan berjilid-jilid.
Meskipun beliau telah mencapai pusat keilmuan, sastra, dan
materi, namun beliau merupakan orang yang rendah hati. Disebutkan dalam
Thabaqah al-Kubra; "Beliau melayani diri sendiri dan tidak memperkenankan
seseorang membelikan kebutuhannya dari pasar sampai beliau berusia lanjut dan
lemah fisik". Beliau juga termasuk orang yang sangat dihormati dari
seluruh tingkatan, khususnya tingkatan para wali, orang-orang jadzab, dan sufi
seperti Syekh Nuruddin al-Musrifi, dan Syekh Ali al-Khowwash.
Syeikh al-Ramli sang pendidik
Berjibunnya ahli fikih, ulama, dan pelajar yang hampir tidak
pernah meninggalkan beliau baik siang maupun malam, semua itu tidak membuat
beliau lupa pada keluarga dan anak-anak. Beliau tetap memberikan pendidikan
terbaik pada mereka. Tentang masalah tersebut murid kesayangannya, yaitu Syekh
Sya'roni berkata: "Al-Alim al-'alamah al-Muhaqqiq Muhammad putera Syekh
Shihabbuddin yang telah kukenal semenjak ada dalam gendonganku sampai sekarang
(akhir abad 10H.), tidak pernah aku lihat kejelekan agamanya. Sejak kecil
beliau tidak bermain dengan teman-teman sebayanya, beliau hidup dalam cahaya
agama, takwa, menjaga anggota tubuh dan kewibawaan. Orang tuanya mendidik
dengan didikan yang terbaik".
Lebih jauh Imam Sya'roni berkata : "Aku mengaji di
hadapan orang tua beliau di Madrasah al-Nashiriyyah dan kutemukan sinar
kebaikan dan taufiq pada beliau. Allah telah membuat orang-orang senang dan
sayang pada beliau. Putra Syekh Shihabuddin ini juga menjadi rujukan warga
Mesir dalam masalah penyeleksian fatwa. Ulama fiqih telah sepakat akan
keilmuan, wara' dan kebaikan akhlaknya. Tidak henti-hentinya beliau memperoleh
ilmu dari ayahnya sehingga tidak perlu mencari ilmu pada ulama lain. Kemudian
beliau menyebarkan apa yang dimilikinya baik berupa fiqih, hadits, tafsir,
nahwu, ma'ani, bayan, dan lainnya, sehingga beliau siap menjadi penerus
ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau mengurusi pendidikan di Masjid Jami'
al-Azhar. Ulama-ulama pun menerimanya dan tidak ada yang membantah kecuali
orang- orang yang tidak tahu akan kapasitas beliau atau orang yang dipenuhi
dengan rasa dengki dan iri hati.
Syeikh Shihabuddin wafat
Syekh ar-Ramli meninggal pada tahun 757H dan jenazahnya
disalati pada hari Jum'at di Masjid al-Azhar. Imam Sya'roni berkata: "Aku
tidak pernah melihat jenazah sebagaimana jenazah beliau. Di situ banyak manusia
sehingga masjid pun penuh oleh jama'ah yang melaksanakan shalat jum'at pada
waktu itu. Sampai-sampai sebagian dari mereka salat di tempat lain dan kembali
untuk menghormati jenazah beliau.
Masjid Jami' al-Ramli
Masjid Jami' al-Ramli sekarang terletak di daerah Midan Bab
al-Sya'riah, yang dulu terkenal dengan sebutan Bab al-Qantharah, karena di situ
terdapat al-Qantharah (jembatan) di atas teluk Misri. Tentang hal tersebut Ali
Mubarak berkata: "Masjid yang berada di medan al-Quthn ini dulunya rusak,
di dalamnya terdapat makam al-Ramli dan puteranya. Disebabkan oleh Hasanain
al-Rimali al-Khibas yang menisbatkan dirinya pada Syekh al-Ramli dan mengaku
bahwa al-Ramli adalah kakeknya, maka direnovasilah mesjid tersebut. Beliau
merenovasi dengan biaya sendiri pada tahun 1288H. Beliau juga merenovasi dua
makam dan melaksanakan syiar-syiarnya.
Masjid tersebut sekarang berada dalam area persegi empat
yang kira-kira panjangnya 12 m dan lebar 11m. Di tengahnya terdapat satu tiang
untuk menyangga atap yang terbuat dari kayu. Pada tembok kiblatnya terdapat
mihrab besar dan mimbar kuno yang di sampingnya terdapat ruangan sempit. Di
dalamnya terdapat makam Muhammad al-Satuhi, pelayan masjid pada masa al-Ramli.
Pada arah barat masjid terdapat ruangan persegi empat, yang di dalamnya
terdapat mihrab dan tempat sholat ke arah makam Syekh al-Ramli dan Muhammad
putra beliau.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan