Selasa, 7 Februari 2012

Syeikh Syihabuddin Al-Ramli, Sang Alim dan Pendidik




Syeikh Shihabbuddin dilahirkan di Mesir pada masa kekuasaan Raja Al-Malik al-Dhohir Abi Sa'id. Ia terkenal dengan sebutan "al-Ramli", nisbat kepada desa Rimal, sebuah distrik di Kuwaisina, Manufiah. Ali Mubarak mengatakan bahwa Rimal merupakan kampung kecil, bagian dari Dimyat yang dekat dengan Maniah al-Athor ke arah masjid al-Hadhor.

Perjalanan ke Hijaz

Ketika berumur 16 tahun beliau pergi ke Hijaz dalam bagian rombongan yang pergi ke Madinah atas perintah Sultan al-Asraf Qoitbay untuk merenovasi bangunan Masjid Nabawi. Pada tahun 886 H terjadi petir besar yang menyambar Masjid Nabawi, sehingga terbakar menara yang berada di atas persemayaman Nabi. Atap masjidpun semuanya terbakar, begitu juga mimbar, tembok, tiang dan pintu. Hampir tidak ada yang selamat selain Qubah as-Syarifah. Tatkala Sultan Qoitbay mendengar kabar tersebut, menangislah beliau dan menangis pula orang-orang yang ada di sekitar beliau.

Rombongan yang dipimpin oleh Syamsudin Muhammad bin Zaman menyertakan beberapa tenaga bangunan, tukang kayu, tukang batu marmer dan lain-lain. Dalam cerita ini, belum jelas apakah Syekh Syihabudin termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, tukang kayu atau yang lainnya. Menurut sebagian riwayat beliau tidak termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, karena dalam biografinya disebutkan bahwa beliau belajar di al-Azhar kemudian menghapalkan Al-quran, hadist, dan fiqih empat madzhab.

Imam Sya'roni dalam Thabaqah-nya mengatakan : "Beliau adalah Imam yang shalih, penutup ahli tahqiq di Mesir, Hijaz dan Syam. Barangkali kepergiannya bersama utusan renovasi dan bangunan merupakan bentuk kesusahan beliau tatkala mendengar Masjid Nabawi terbakar. Beliau yakin bahwa ruangan al-Nabawiyah akan selamanya selamat tidak terkena malapetaka. Beliau tetap tinggal di Hijaz, tidak pulang bersama utusan pembaharu masjid, untuk menimba ilmu dan belajar fiqih pada ulama-ulama Hijaz.

Kembali ke Mesir

Setelah beberapa saat tinggal di Hijaz dan sebelum kembali ke Mesir beliau pergi ke Syam dan menetap beberapa waktu untuk belajar pada pemuka agama, ahli fatwa dan ulama-ulama yang memberi kontribusi dalam pengetahuan beliau. Ketika kembali ke Kairo pada masa kekuasaan Sultan Qonshuh al-Ghouri, ketenarannya telah menyebar ke semua penjuru khususnya ulama-ulama fiqih madzhab Syafi'i. Hal ini merupakan sebab mengapa Sultan al-Ghouri menugaskan beliau mengajar di Madrasah al-Nasiriyah di Qorofah.

Madrasah Nasiriyah terletak di dekat Qubah Imam Syafi'i. Madrasah ini dibangun oleh Sultan Malik al-Nasir Sholahuddin al-Ayyubi dan dikhususkan untuk belajar fiqih madzhab Imam syafi'i. Sultan Malik juga menyediakan kepada para pengajar 40 dinar perbulan dan roti sebanyak 60 kantung perhari. Beliau juga menetapkan pengajar bantu dan para pelajar. Sultan Shalahuddin juga mewakafkan kamar mandi besar (Hammam) di sebelah madrasah, toko roti dan toko-toko di luarnya. Al-Maqrizi berkata: "Pengajaran di Madrasah al-Nasiriyah diurus oleh para pembesar, seperti Qadli al-Qudlat Taqiyuddin Muhammad bin Rozin al-Hamawi, juga Ibnu Daqiq al-Id, begitu juga Burhanudin al-Hadr al-Sanjari".

Keutamaan Syeikh Shihabuddin

Tentang biografi Syekh Shihabbuddin Imam Sya'roni bercerita : "Syekh Shihabbuddin merupakan orang yang wara', zuhud, alim, bagus keyakinannya, lebih-lebih di hadapan orang sufi. Beliau selalu menjawab melayani dengan santun perkataan mereka. Syekh Romli adalah imam dalam ilmu syara". Imam Sya'roni -sang sufi- merupakan murid yang paling beliau cintai. Dalam hal ini Syekh Sya'roni sendiri berkata : "Syekh Shihabuddin sangat mencintaiku sebagaimana kecintaan tuan pada sahayanya".

Tentang keutamaan Syekh Shihabbuddin dan keilmuannya Imam Sya'roni lebih jauh berkata : "Hampir seluruh ulama madzhab Syafi'i di Mesir adalah muridnya. Tidak ditemukan seorang alim bermadzhab Syafi'i kecuali dia adalah murid Syekh Shihabbuddin atau cucu murid. Semua permasalahan dari seluruh penjuru daerah dikembalikan pada beliau. Ketergantungan masyarakat pada petuah beliau melebihi ketergantungan mereka terhadap para gurunya.

Tidak diragukan lagi Syekh Shihabbuddin mempunyai posisi keilmuan yang tinggi pada masanya, yaitu tahun 8 H, sampai-sampai Syekh Zakaria al-Anshori memberi izin beliau untuk memperbaiki karangan-karangannya, baik semasa hidupnya atau sesudah mati. Ini adalah hal yang luar biasa sebab Syekh Zakaria tidak pernah memberikan izin dalam masalah ini pada siapapun selain beliau. Syekh Shihabbuddin turut memperbaiki beberapa tema atau masalah dalam kitab Syarh al-Bahjah-nya Syekh Zakaria dan Syarh al-Roudl semasa hidupnya. Beliau juga mengarang beberapa kitab yang berharga seperti kitab Syarh al-Zubad dalam ilmu fiqih yang merupakan kitab besar, yang di dalamnya berisi pentarjihan, perdebatan, dan penyeleksian beliau yang telah diteliti oleh Syekh Nuruddin al- Tanuta'i, sebagaimana Syekh Syamsuddin al-Khotib mengumpulkan fatwa-fatwanya sehingga menjadi kitab yang besar dan berjilid-jilid.

Meskipun beliau telah mencapai pusat keilmuan, sastra, dan materi, namun beliau merupakan orang yang rendah hati. Disebutkan dalam Thabaqah al-Kubra; "Beliau melayani diri sendiri dan tidak memperkenankan seseorang membelikan kebutuhannya dari pasar sampai beliau berusia lanjut dan lemah fisik". Beliau juga termasuk orang yang sangat dihormati dari seluruh tingkatan, khususnya tingkatan para wali, orang-orang jadzab, dan sufi seperti Syekh Nuruddin al-Musrifi, dan Syekh Ali al-Khowwash.

Syeikh al-Ramli sang pendidik

Berjibunnya ahli fikih, ulama, dan pelajar yang hampir tidak pernah meninggalkan beliau baik siang maupun malam, semua itu tidak membuat beliau lupa pada keluarga dan anak-anak. Beliau tetap memberikan pendidikan terbaik pada mereka. Tentang masalah tersebut murid kesayangannya, yaitu Syekh Sya'roni berkata: "Al-Alim al-'alamah al-Muhaqqiq Muhammad putera Syekh Shihabbuddin yang telah kukenal semenjak ada dalam gendonganku sampai sekarang (akhir abad 10H.), tidak pernah aku lihat kejelekan agamanya. Sejak kecil beliau tidak bermain dengan teman-teman sebayanya, beliau hidup dalam cahaya agama, takwa, menjaga anggota tubuh dan kewibawaan. Orang tuanya mendidik dengan didikan yang terbaik".

Lebih jauh Imam Sya'roni berkata : "Aku mengaji di hadapan orang tua beliau di Madrasah al-Nashiriyyah dan kutemukan sinar kebaikan dan taufiq pada beliau. Allah telah membuat orang-orang senang dan sayang pada beliau. Putra Syekh Shihabuddin ini juga menjadi rujukan warga Mesir dalam masalah penyeleksian fatwa. Ulama fiqih telah sepakat akan keilmuan, wara' dan kebaikan akhlaknya. Tidak henti-hentinya beliau memperoleh ilmu dari ayahnya sehingga tidak perlu mencari ilmu pada ulama lain. Kemudian beliau menyebarkan apa yang dimilikinya baik berupa fiqih, hadits, tafsir, nahwu, ma'ani, bayan, dan lainnya, sehingga beliau siap menjadi penerus ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau mengurusi pendidikan di Masjid Jami' al-Azhar. Ulama-ulama pun menerimanya dan tidak ada yang membantah kecuali orang- orang yang tidak tahu akan kapasitas beliau atau orang yang dipenuhi dengan rasa dengki dan iri hati.
Syeikh Shihabuddin wafat

Syekh ar-Ramli meninggal pada tahun 757H dan jenazahnya disalati pada hari Jum'at di Masjid al-Azhar. Imam Sya'roni berkata: "Aku tidak pernah melihat jenazah sebagaimana jenazah beliau. Di situ banyak manusia sehingga masjid pun penuh oleh jama'ah yang melaksanakan shalat jum'at pada waktu itu. Sampai-sampai sebagian dari mereka salat di tempat lain dan kembali untuk menghormati jenazah beliau.

Masjid Jami' al-Ramli

Masjid Jami' al-Ramli sekarang terletak di daerah Midan Bab al-Sya'riah, yang dulu terkenal dengan sebutan Bab al-Qantharah, karena di situ terdapat al-Qantharah (jembatan) di atas teluk Misri. Tentang hal tersebut Ali Mubarak berkata: "Masjid yang berada di medan al-Quthn ini dulunya rusak, di dalamnya terdapat makam al-Ramli dan puteranya. Disebabkan oleh Hasanain al-Rimali al-Khibas yang menisbatkan dirinya pada Syekh al-Ramli dan mengaku bahwa al-Ramli adalah kakeknya, maka direnovasilah mesjid tersebut. Beliau merenovasi dengan biaya sendiri pada tahun 1288H. Beliau juga merenovasi dua makam dan melaksanakan syiar-syiarnya.

Masjid tersebut sekarang berada dalam area persegi empat yang kira-kira panjangnya 12 m dan lebar 11m. Di tengahnya terdapat satu tiang untuk menyangga atap yang terbuat dari kayu. Pada tembok kiblatnya terdapat mihrab besar dan mimbar kuno yang di sampingnya terdapat ruangan sempit. Di dalamnya terdapat makam Muhammad al-Satuhi, pelayan masjid pada masa al-Ramli. Pada arah barat masjid terdapat ruangan persegi empat, yang di dalamnya terdapat mihrab dan tempat sholat ke arah makam Syekh al-Ramli dan Muhammad putra beliau.

Tiada ulasan: